Paper Moon – Chapter 03: Pensil Patah

Bagaikan kisah fiksi yang menjadi kenyataan. Kini Stefani berada di Hay-on-Wye, Inggris, dalam rangka menghadiri Hay Festival. Tentu saja ia tidak sendirian. Reigha, penulis yang mendapatkan hadiah utama dalam lomba menulis yang disponsori oleh penerbit Selaut Aksara, juga menghadiri Hay Festival. Begitu juga dengan Ahmad yang menjadi perwakilan penerbit Selaut Aksara.
Hay Festival tahun ini diselenggarakan pada tanggal 25 Mei – 4 Juni dan tanpa terasa, hari ini sudah memasuki hari ke-8 festival. Stefani dan Reigha yang awalnya selalu bertengkar, akhirnya mulai akur. Sejak mereka berdua berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, ada saja hal yang membuat mereka berdua adu mulut. Mulai dari di mana mereka akan duduk di ruang tunggu bandara, mau makan apa di dalam pesawat, dan hal-hal sepele lainnya. Bahkan setelah sampai di Hay-on-Wye, pertengkaran mereka terus berlanjut. Mereka bertengkar mengenai menu sarapan, event yang akan diikuti, atau dimana mereka akan makan siang. Untungnya, Ahmad adalah seorang laki-laki yang memiliki jiwa seorang ayah yang penyabar dan penyayang, jadi ia bisa menengahi pertengkaran “anak-anaknya” tersebut.
“Aku bersyukur karena kamu bukan pacarku,” ujar Reigha sembari mengunyah spageti yang menjadi menu makan siang mereka hari ini.
“Ya, aku juga merasa sangat bersyukur karena kamu bukan pacarku,” balas Stefani dengan ketus.
Siang ini, Reigha dan Stefani bertengkar lagi. Kali ini penyebabnya adalah dimana mereka akan makan siang. Reigha ingin makan siang di kafe yang memiliki teras terbuka. Sedangkan, Stefani ingin makan siang di dalam kafe yang sejuk. Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya mereka makan di dalam kafe sesuai dengan keinginan Stefani. Meskipun Reigha mengalah, tetap saja ia mengomel sambil menyantap spageti pesanannya.
“Kalian kan sama-sama penulis. Jadi, seharusnya kalian akur dan berbagi pengalaman sebagai penulis,” ujar Ahmad mencoba menasehati Stefani dan Reigha. Tapi, Stefani tetap memasang wajah cemberut dan Reigha tampak cuek.
“Stefani, kamu jadi mau ke Hay Bluff besok?” tanya Ahmad.
“Iya, jadi. Tanggal 3 Juni nanti aku akan kembali lagi ke sini,” jawab Stefani.
Reigha berhenti mengunyah mendengar rencana perjalanan Stefani yang baru ia dengar itu.
“Mau ngapain ke sana?” tanya Reigha dengan nada dingin tapi penasaran.
“Melihat bintang,” jawab Stefani singkat dan sama sekali tidak ramah.
“Kamu suka melihat bintang?” Reigha bertanya lagi walau masih dengan nada bicara yang dingin.
“Iya. Memangnya kenapa?” balas Stefani yang masih sinis.
Namun, di luar dugaan, Reigha cuma diam.
“Reigha, kalau kamu nggak sibuk, kamu ikut Stefani aja.” Ahmad memberi usul.
“Oke.”
Stefani terkejut melihat Reigha yang langsung setuju tanpa pikir panjang.
“Tapi Pak Ahmad harus ikut juga. Biar nanti ada wasitnya kalau aku dan Stefani bertengkar,” lanjut Reigha.
“Iya… Iya…” Ahmad mengiyakan sembari tersenyum lebar.
Selama seminggu ini, agenda harian Stefani dan Reigha adalah: mengikuti talkshow di siang hari dan menikmati waktu bebas di malam hari.
Biasanya Stefani akan membaca di Dairy Meadows pada malam hari karena penerangan di sana sangat bagus selama Hay Festival berlangsung.
Dan karena sedang berada di Hay-on-Wye, Stefani jadi ingin sekalian pergi melihat bintang di Hay Bluff. Pihak sponsor juga tidak melarang selama ia sudah mengikuti kegiatan Hay Festival selama satu minggu. Selebihnya, mereka dibebaskan untuk pergi ke tempat lain atau melakukan aktivitas lain sebagai bonus tambahan.
Setelah makan siang, mereka kembali ke penginapan. Stefani langsung mengemaskan barang-barang yang akan ia bawa ke Hay Bluff.
Sementara itu, di kamar yang berbeda, Reigha duduk termenung di pinggir tempat tidur sembari memandangi fotonya bersama seorang gadis yang tampak seumuran dengannya.
“Itu siapa?” tanya Ahmad yang memang sekamar dengan Reigha.
“Pacarku.”
“Lagi kangen, ya?” kata Ahmad lagi.
Reigha cuma tersenyum.
“Yang sabar, ya. Nggak lama lagi kita pulang ke Indonesia kok.”
Lagi-lagi Reigha cuma tersenyum.
Lalu, tanpa diminta, Reigha mulai bercerita tentang pacarnya itu dan Ahmad mendengarkannya dengan saksama.
***
Seperti hari-hari sebelumnya, setelah makan malam, Stefani pergi ke Dairy Meadows untuk membaca buku. Selama Hay Festival berlangsung, Dairy Meadows tetap ramai meski di malam hari karena penerangannya sangat bagus sehingga sangat membantu bagi siapapun yang ingin membaca di sana.
Setiap kali pergi membaca di Dairy Meadows, Stefani selalu mencari tempat di mana ia bisa bersandar seperti di bawah pohon kalau siang hari atau di bawah tiang lampu kalau malam hari. Ia tidak ingin kalau kebiasaannya yang refleks bersandar pada punggung Fandi setiap kali mereka berdua membaca di luar ruangan membuat orang lain di Dairy Meadows bingung.
Ternyata malam ini Reigha juga pergi membaca buku di Dairy Meadows. Ia duduk di samping Stefani. ‘Perang dingin’ mereka masih berlanjut juga. Hampir satu jam lamanya, mereka berdua tidak saling berbicara. Hingga akhirnya, tiba-tiba Stefani berdiri dan pindah duduk ke bawah tiang lampu. Melihat hal tersebut, Reigha kembali kesal. Ia menghampiri Stefani.
“Kamu masih kesal sama aku?” tanyanya pada Stefani.
“Nggak kok,” jawab Stefani singkat.
“Terus kenapa pindah duduk ke sini?” cecar Reigha.
“Cuma nyari tempat bersandar.” Stefani kembali menjawab tanpa menoleh ke arah Reigha.
Reigha terdiam. Ia lalu duduk di sebelah Stefani.
“Kamu ngapain ikut duduk di sini? Ntar kita dikira pacaran,” ujar Stefani lagi.
“Di sini lebih terang,” jawab Reigha yang kemudian melanjutkan bacaannya.
Keduanya kembali diam. Larut dalam bacaan masing-masing. 20 menit kemudian, Reigha berkata pada Stefani,
“Kalau kamu capek, pulang aja. Besok kita mau berangkat ke Hay Bluff, kan? Aku juga mau pulang sekarang.”
Stefani mengangguk. Mereka berdua pun berjalan meninggalkan Dairy Meadows.
Keesokan harinya, Stefani, Reigha, dan Ahmad berangkat ke Hay Bluff sesuai dengan jadwal yang sudah mereka rencanakan. Mereka berangkat menggunakan mobil sewaan. Tidak ada yang berbeda dengan Reigha hari ini. Ia dan Stefani masih sering bertengkar kecil di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di Hay Bluff, mereka mendirikan tenda dan beristirahat. Malam pun tiba. Langit malam di Hay Bluff benar-benar indah. Bintang-bintang terlihat jelas di langit yang gelap.
Saat hendak mencari tempat yang bagus untuk melihat bintang, Reigha langsung berbalik arah begitu melihat Stefani yang sudah duduk dengan santai dan rileks sembari menikmati segelas kopi hangat dan memandangi bintang-bintang di langit. Akhirnya, Reigha menemukan tempat yang pas untuk menikmati pemandangan bintang di langit dan berjarak 15 meter jauhnya dari tempat Stefani.
Ahmad yang memperhatikan tingkah Reigha itu pun tersenyum, kemudian ia berjalan menghampiri Stefani.
Stefani baru menyadari kehadiran Ahmad setelah ia duduk di sebelah Stefani.
“Gimana rasanya menghadiri Hay Festival? Seru, nggak?” tanya Ahmad setelah menyeruput kopi dari dalam gelasnya.
“Seru banget. Bisa ketemu penulis-penulis terkenal dan dapat kenalan baru. Terutama si Reigha. Huh!” Stefani mendengus kesal setelah menyebut nama Reigha.
“Hahaha… Kalian berdua memang benar-benar nggak bisa akur, ya?” ujar Ahmad.
“Abisnya dia ngeselin banget.”
“Dia ngeselin karena selera dan sifat kalian berbeda, ya? Reigha berjiwa petualang dan kamu berjiwa anak rumahan.”
Stefani mengangguk.
“Oya, makasih ya udah milih aku melalui ‘Tinta Emas’, jadi aku bisa datang ke Hay Festival,” ujar Stefani mengalihkan topik pembicaraan. Padahal sudah berkali-kali Stefani mengatakan hal yang sama sejak dinyatakan terpilih untuk mengikuti Hay Festival melalui ‘Tinta Emas’.
“Sama-sama. Saya yakin kalau kamu akan terus berkembang sebagai seorang penulis. Itu sebabnya saya memutuskan untuk memilih kamu menggunakan ‘Tinta Emas’,” balas Ahmad.
“Tapi, Reigha hebat juga ya bisa memenangkan hadiah utamanya.”
Ahmad tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan oleh Stefani karena menurutnya tanpa sadar Stefani sudah memuji Reigha.
“Reigha itu sudah menerbitkan sepuluh novel lho.”
“Pantas aja dia bisa menang.” Stefani berkata sembari manggut-manggut.
Kali ini tanpa sadar Stefani menunjukkan rasa kagumnya.
“Kamu yang baik ya sama dia. Soalnya dia masih dalam suasana berduka.”
“Maksudnya?” Spontan Stefani menoleh ke arah Ahmad.
“Pacarnya meninggal karena kecelakaan, seminggu sebelum dia berangkat ke sini.”
Stefani langsung merasa terenyuh mendengar cerita Ahmad tentang Reigha yang sama sekali tidak pernah terbayangkan olehnya.
“Sebenarnya, Reigha nggak jadi pergi ke sini. Tapi, orangtua pacarnya yang menyuruhnya pergi karena pacarnya senang banget ketika tahu kalau Reigha memenangkan hadiah utama lomba menulis kemarin. Dan pacarnya sangat suka melihat bintang.” Ahmad menyudahi ceritanya, lalu kembali menyeruput kopi dalam gelasnya yang mulai terasa dingin.
Stefani diam-diam melihat ke arah Reigha yang duduk sendiri di kejauhan. Terbesit rasa bersalah dan menyesal dalam hatinya karena tidak pernah akur dengan Reigha sejak kali pertama mereka berkenalan.
Esoknya, mereka bertiga kembali ke penginapan di Hay-on-Wye.
Meskipun Stefani dan Reigha sudah jarang bertengkar, tapi bukan berarti mereka berdua jadi lebih akrab. Keduanya seolah berada di dalam pikiran dan dunia mereka masing-masing.
Sore ini, Stefani pergi membeli oleh-oleh untuk Fandi, Alia, dan Runa. Setelah itu, ia mampir ke sebuah toko buku bernama Richard Booth’s Bookshop.
Stefani menghabiskan waktu selama hampir satu jam mengelilingi rak-rak buku untuk mencari buku yang menarik. Sampai akhirnya, sebuah buku berjudul “Pensil Patah” menarik perhatiannya.
Sejak datang ke Hay-on-Wye, Stefani sudah mengunjungi banyak toko buku di sana, tapi baru kali ini ia menemukan buku yang judulnya dalam Bahasa Indonesia. Awalnya ia mengira kalau itu adalah buku terjemahan. Tapi ia terkejut setelah membaca blurb buku tersebut yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

Steven Grayson.

Itu adalah nama penulisnya. Stefani langsung memutuskan untuk membeli buku tersebut.

“Seandainya ada satu do’aku yang pasti akan dikabulkan, aku ingin bertemu dengan penulis buku ini,” batinnya sembari menunggu di kasir.

Setelah merasa oleh-oleh yang ia beli sudah cukup, Stefani pulang ke penginapan. Dan ketika malam tiba, ia pergi ke Dairy Meadows untuk membaca buku berjudul “Pensil Patah” yang ia beli tadi sore. Malam ini adalah malam terakhir bagi Stefani untuk membaca di Dairy Meadows karena besok malam ia harus mengemaskan barang-barangnya sebelum pulang ke Indonesia.
Satu jam berlalu, Stefani mulai kelelahan dan dengan refleks ia menyandarkan punggungnya ke belakang. Stefani lupa kalau tidak ada sandaran di belakangnya karena di bawah tiang lampu sudah ramai orang membaca. Ternyata, di belakang Stefani ada seorang pemuda. Pemuda itu refleks membalikkan tubuhnya karena terkejut dan mengira kalau Stefani pingsan.
“Are you okay?” tanyanya.
“Yes, I’m sorry,” jawab Stefani.
Tanpa sengaja pemuda itu melihat sampul buku yang dipegang oleh Stefani. Seketika perasaannya jadi campur aduk.
“I’m Stefani from Indonesia.” Stefani memperkenalkan dirinya dengan ramah.
“I’m Steven Grayson. Salam kenal. Saya bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia sedikit-sedikit.” Ucapan pemuda itu membuat Stefani merasa sangat senang.
“Berarti Anda adalah penulis buku ini?” Stefani bertanya sembari menunjukkan sampul buku ‘Pensil Patah’ yang ia pegang.
Steven mengangguk sembari tersenyum ramah.
“Boleh saya minta tandatangan Anda?” tanya Stefani dengan sangat antusias.
“Boleh.”
Pemuda itu menerima buku ‘Pensil Patah’ dari Stefani, lalu menandatanganinya.
”Kukira buku itu sudah tidak dijual di toko.”
“Mereka masih menjualnya. Aku membelinya di Richard Booth’s Bookshop. Walaupun aku belum membacanya sampai selesai, tapi ceritanya sangat bagus.”
“Terima kasih,” ujar Steven sembari mengembalikan buku itu kepada Stefani.
“Seharusnya saya yang berterima kasih,” balas Stefani.
“Sekarang sudah hampir pukul sepuluh. Kamu menginap dimana?” tanya Steven.
“Aku menginap di hotel Book’s Tent. Hampir pukul sepuluh, ya? Sepertinya aku harus pulang sekarang karena besok malam aku akan berkemas sebelum pulang ke Indonesia,” ujar Stefani.
“Mau saya antar?” Steven menawarkan diri untuk mengantar Stefani pulang.
“Nggak apa-apa. Saya bisa pulang sendiri. Sekali lagi, terima kasih banyak. Saya pulang dulu.” Stefani beranjak dari duduknya, kemudian berjalan meninggalkan Steven.
***
Stefani, Reigha, dan Ahmad berjalan keluar dari pintu kedatangan internasional di bandara.
Hari ini mereka tiba di tanah air setelah menghadiri Hay Festival di Inggris.
Sebelum masuk ke dalam mobil yang menjemputnya, Stefani berkata pada Reigha, “Kirimkan judul novel-novel tulisanmu, ya. Aku ingin membacanya. Rasanya senang bisa menghadiri Hay Festival bareng kamu. Semoga kita bisa ketemu lagi, ya…”
Dan satu pesan Whatsapp masuk ke ponsel Reigha.
Dari Stefani.
“Saya yang ngasih nomor Whatsapp kamu ke dia,” ujar Ahmad.
Reigha tersenyum. Mungkin pertengkaran-pertengkaran kecilnya dengan Stefani selama di Hay-on-Wye akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.

***
(Bersambung…)

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai