Paper Moon – Chapter 04: Sabtu Malam

Lama Steven berdiri memandangi buku berjudul “Pensil Patah” yang dipajang di salah satu rak di toko buku Richard Booth’s Bookshop. Buku itu mengingatkannya pada banyak hal. Pada kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Buku itu memang bukan buku pertamanya sejak ia menekuni dunia kepenulisan. Tapi, buku itu sangat membekas di dalam hati dan pikirannya. Dan mungkin juga, di dalam hati dan pikiran seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Ada lima eksemplar buku “Pensil Patah” di rak itu. Buku itu diterbitkan pertama kali dua tahun yang lalu dan Steven mengira kalau buku itu sudah tidak dijual di toko buku.
Ia juga tidak tahu ada berapa toko buku yang masih menjual buku tersebut. Tapi, setidaknya ia bisa mengurangi jumlah orang yang membeli buku itu. Seandainya ia bisa mengulang waktu, ia tidak akan menerbitkan buku itu.
Steven mengambil semua buku “Pensil Patah” itu, lalu berjalan menuju kasir.
“Steven, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” sapa wanita paruh baya yang bertugas sebagai kasir malam itu. Pada ID Card yang ia pakai tertulis nama Emily Bell. Ia sudah mengenal Steven sejak Steven masih berkarir sebagai penulis indie.
“Kabarku baik. Aku baru saja kembali dari Swedia untuk mengumpulkan referensi tulisanku selanjutnya.” Steven membalas sapaan Emily dengan ramah.
“Semoga nanti tulisan kamu jadi best seller lagi. Toko kami siap menampung karyamu.”
“Terima kasih.” Steven tersenyum mendengar ucapan Emily. “Aku ingin membeli buku-buku ini.”
Emily mengernyitkan dahinya ketika melihat judul buku yang ingin dibeli oleh Steven.
“Apa masih ada stock buku ini di gudang? Kalau masih ada, aku ingin membeli semuanya,” lanjut Steven.
“Sebentar, aku cek dulu.” Emily langsung mengecek data jumlah stock buku berjudul “Pensil Patah” yang ada di komputer toko.
“Di gudang sudah tidak ada lagi stock buku itu. Jadi, cuma yang di rak saja,” ujar Emily. “Kenapa kamu ingin membeli semuanya?”
Steven menahan kegetiran dalam senyumannya.
“Aku melakukannya demi seseorang. Walaupun mungkin sudah terlambat.”
Meskipun tidak mengerti dengan maksud perkataan Steven, Emily hanya manggut-manggut dan tidak bertanya lebih jauh.
Steven kemudian meninggalkan toko buku Richard Booth’s Bookshop di bawah naungan langit malam yang sudah gelap sempurna.
Sekarang adalah Sabtu malam. Dulu, di sela kesibukannya menulis, ia selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Marie setiap Sabtu malam. Tapi sekarang, ia tidak punya alasan lagi untuk meluangkan waktu bagi Marie seperti dulu.
***
Sepeda motor yang dikendarai oleh Stefani memasuki halaman parkir sebuah kafe kecil yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Setelah memarkir sepeda motornya, ia langsung berjalan masuk ke dalam kafe sembari menenteng satu kantong plastik besar.
Malam ini, Stefani mengajak Fandi, Runa, Alia, Edi, dan Reigha untuk berkumpul di kafe ini karena ia ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah mendukungnya hingga ia terpilih untuk menghadiri Hay Festival di Inggris. Sebenarnya ia juga mengajak Pak Ahmad. Tapi dengan berat hati Pak Ahmad terpaksa menolaknya karena ia harus menjenguk orangtuanya yang sedang sakit di kampung.
Pengunjung kafe itu tidak ramai. Tapi justru hal itu lah yang membuat Stefani senang karena rasanya seperti menyewa kafe tersebut khusus untuk ia dan teman-temannya. Stefani melihat jam dinding di dalam kafe. Sepertinya ia datang terlalu awal. Stefani memesan cafe latte untuk menemaninya menunggu Fandi dan yang lain.
Tiga menit berlalu dan tak diduga Reigha adalah orang pertama yang datang. Stefani melambaikan tangannya ke arah cowok bertubuh jangkung tersebut. Kedatangan Reigha kemudian disusul oleh Fandi dan Rina. Lalu Alia dan Edi.
Melihat Alia duduk di sebelahnya, Edi jadi merasa sedikit canggung. Ia melirik ke arah Fandi yang terlihat biasa saja dan tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya dalam pikirannya. Tapi, Edi tidak memikirkannya lebih jauh.
Setelah memesan minuman dan makanan ringan. Stefani mulai membongkar isi kantong plastik yang ia bawa.
“Maaf ya, oleh-olehnya nggak seberapa,” ujar Stefani sembari membagikan T-shirt yang hanya dijual di Hay Festival kepada Fandi, Runa, Alia, Edi, dan Reigha.
“Aku juga dapat nih?” tanya Reigha yang tampak terkejut bercampur senang. Sejak kembali dari Hay Festival, Reigha dan Stefani malah menjadi semakin akrab. Itu sebabnya malam ini Reigha menyempatkan diri untuk memenuhi ajakan Stefani.
“Iya dong…” balas Stefani dengan ramah.
“Makasih banyak, ya…” ujar Reigha dengan wajah ceria.
“Oh iya, aku belum memperkenalkan teman baruku ini. Perkenalkan, Reigha. Dia yang memenangkan hadiah utama dalam lomba menulis kemarin,” ujar Stefani memperkenalkan Reigha kepada Fandi dan yang lain.
Fandi, Runa, Alia, dan Edi pun langsung memperkenalkan diri mereka masing-masing dengan singkat.
Ketika melihat tulisan dan warna T-shirt milik Fandi yang sama dengan T-shirt milik Alia, spontan Edi berkomentar, “Wah, pas banget T-shirtnya sama. Couple, ya?”
“Couple?” ujar Stefani yang bingung, diikuti oleh Fandi dan Alia yang langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah Edi dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kalian berdua pacaran, kan? Soalnya aku sering banget lihat kalian berdua di kafe dekat tempat aku kerja paruh waktu. Aku bahkan pernah bertabrakan dengan Alia di pintu masuk kafe,” lanjut Edi.
“Kak Fandi pacaran sama Kak Stefani lho,” ujar Runa sembari mengunyah tiramisu kesukaannya.
“Eh?” Edi langsung menyadari kalau sepertinya ia telah melakukan satu kesalahan fatal.
“Iya, Fandi adalah pacar aku. Dia juga kenal kok sama Alia,” ujar Stefani dengan santai.
“Oh, gitu ya? Aku kira mereka berdua pacaran.” Edi merasa sedikit lega setelah melihat respon positif dari Stefani.
“Tapi, kalian kok nggak ngasih tahu aku kalau kalian berdua ketemuan? Emangnya kalian ngebahas apa?” selidik Stefani yang tidak bisa menutupi rasa penasarannya.
Seketika Fandi dan Alia merasa seperti disetrum dengan listrik. Mereka sama-sama tidak ingin membohongi Stefani, tapi mereka juga tidak tega untuk memberitahu yang sebenarnya karena hal itu pasti akan melukai Stefani.
Raut wajah Stefani langsung berubah ketika melihat reaksi Fandi dan Alia yang sangat tidak biasa.
“Jangan-jangan kalian berdua…?” Kalimatnya terputus.
“Kami nggak seperti yang kamu kira,” ujar Alia.
“Terus kenapa harus ketemuan diam-diam tanpa sepengetahuan aku?”
Seketika suasana menjadi sangat tidak nyaman. Runa bahkan hampir tidak bisa menelan tiramisu kesukaannya. Sedangkan Reigha hanya bisa memandangi Stefani, Fandi, dan Alia secara bergantian. Edi sendiri kembali dicekam rasa bersalah. Andai saja tadi ia tidak berkata seperti itu tadi.
“Mungkin aku yang salah lihat,” ujar Edi yang mencoba meredakan ketegangan di antara Stefani, Fandi, dan Alia.
Fandi menghela napas panjang. Setelah mengembuskannya, ia pun berkata dengan tenang.
“Memang benar kalau aku dan Alia ketemuan di kafe tanpa sepengetahuan kamu.”
“Kenapa?” tanya Stefani yang semakin penasaran.
“Aku…”
“Fandi!” Alia langsung memotong kalimat Fandi. Ia menggelengkan kepalanya sebagai isyarat agar Fandi tidak mengatakan yang sebenarnya pada Stefani. Tapi hal itu malah membuat Stefani semakin curiga kalau ada yang disembunyikan oleh pacar dan sahabatnya itu. Namun, sepertinya Fandi tidak peduli dengan permintaan Alia.
“Aku meminta Alia mengawasi kamu, Stefani,” ujar Fandi jujur. “Terserah kamu mau menyebutnya apa. Aku hanya khawatir kalau kamu akan berpindah hati dariku kepada Edi.”
“Eh? Aku?” Edi menunjuk wajahnya sendiri dengan ekspresi terkejut.
“Dan Alia selalu melaporkan padaku apa saja yang kamu bahas bersama Edi setiap kali kalian bertemu,” lanjut Fandi.
“Dia cemburu,” ujar Edi dalam hati.
“Dia cemburu…” batin Reigha.
“Kak Fandi cemburu.” Runa juga membatin.
Mendengar pengakuan Fandi yang sangat mengejutkan itu, kedua mata Stefani mulai berkaca-kaca. Ia tidak pernah merasa sangat kecewa, sedih, dan marah seperti yang ia rasakan saat ini.
“Fandi, aku bukan pendatang baru dalam hidupmu.” Suara Stefani terdengar bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap di dalam dadanya.
“Iya, aku tahu itu. Maafin aku, ya…” Fandi menatap Stefani dengan serius.
“Aku juga minta maaf,” ujar Alia yang merasa sangat menyesal.
Stefani diam. Airmata yang tak bisa ia bendung lagi akhirnya mengalir di kedua pipinya. Ia berdiri dari kursinya, lalu berjalan ke meja kasir. Fandi memegang pergelangan tangan Stefani, tapi langsung ditepis oleh Stefani.
Penjaga kasir sesekali melirik wajah Stefani yang berlinang airmata sembari menghitung jumlah yang harus Stefani bayar. Setelah membayar minumannya di kasir, Stefani berjalan menuju sepeda motornya.
Alia dan Edi bergegas mengejar Stefani dan Fandi. Sedangkan Runa dan Reigha hanya bisa duduk terdiam dalam suasana yang sangat tidak menyenangkan itu.
“Stefani, aku terpaksa meminta Alia untuk mengawasi kamu. Itu karena aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” ujar Fandi yang berusaha meyakinkan Stefani.
Stefani yang sudah sampai di dekat sepeda motornya langsung memakai helm dan menyalakan mesin motor.
“Aku bukan pendatang baru dalam hidup kamu.” Setelah mengulangi kalimatnya tersebut, Stefani memacu sepeda motornya meninggalkan Fandi, Alia, dan Edi di halaman parkir kafe.
Di sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Stefani terus menangis. Ia benar-benar tidak menyangka kalau cowok yang sangat ia percaya ternyata tidak mempercayainya sedikit pun dan bahkan sampai memperlakukannya seperti seorang ‘pendatang baru’ yang harus dipantau segala gerak-geriknya. Ditambah lagi, sahabat dekatnya ikut andil dalam hal tersebut. Hatinya hancur.
Sesampainya di rumah, Stefani langsung masuk ke dalam kamarnya dan membenamkan wajahnya di atas bantal. Ia merasa lebih sedih daripada gagal dalam lomba menulis.
***
Fandi, Alia, dan Edi berjalan dengan lesu ke dalam kafe. Lalu duduk kembali di kursi masing-masing.
“Kak Stefani mana?” tanya Runa.
“Mungkin dia langsung pulang ke rumahnya,” jawab Fandi.
“Aku benar-benar minta maaf karena udah mengatakan hal yang bikin Stefani jadi salah paham begitu,” ujar Edi yang merasa bersalah dan sangat menyesal.
“Nggak apa-apa. Ini bukan kesalahpahaman. Tapi, sebuah akibat dari apa yang udah kami lakukan,” ujar Fandi.
“Lagian kamu juga sih. Kenapa harus jujur begitu sama dia? Padahal kamu sendiri tahu kan kalau dia pasti akan merasa sedih? Bilang aja kalau kita mau merencanakan kejutan ulangtahun untuk dia. Berbohong demi kebaikan itu nggak salah kok.” Alia mencecar Fandi dengan kesal.
“Selama di Inggris, Stefani nggak pernah caper sama cowok-cowok di sana.”
Semua mata langsung memandang ke arah Reigha yang akhirnya angkat bicara.
“Menurutku, dia seperti menjaga hatinya untuk seseorang,” lanjutnya yang membuat semuanya tak bisa berkomentar apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, Fandi dan yang lain pun meninggalkan kafe dengan tidak bersemangat.

***
(Bersambung…)

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai