Paper Moon – Chapter 06: Nama

Runa menutup mulutnya yang menguap lebar. Kedua kelopak matanya juga terasa berat. Ia melihat ke arah jam di atas meja belajarnya. Sudah pukul 23.10 malam. Runa ingin segera tidur, tapi ia harus mengerjakan PR Bahasa Indonesia yang harus dikumpulkan besok. Setelah meregangkan persendiannya, Runa beranjak keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mencari camilan di lemari dapur yang bisa menemaninya mengerjakan PR.
Ia sempat terkejut melihat Fandi yang sedang menonton TV di ruang keluarga.
“Belum tidur, Kak?” tanya Runa sembari mengeluarkan beberapa bungkus makanan ringan dari lemari dapur.
Ruang keluarga di rumah mereka memang langsung terhubung dengan dapur, jadi orang yang sedang berada di dapur bisa melihat orang yang ada di ruang keluarga.
“Kakak lagi nonton TV atau lagi ditonton oleh TV?” ujar Runa dengan maksud bercanda karena Fandi tidak menjawab pertanyaannya tadi.
Tapi, sampai Runa menutup kembali pintu kulkas setelah mengambil minuman, Fandi masih bergeming.
Jantung Runa langsung berdegup kencang. Dengan perlahan, ia berjalan mendekati Fandi.
“Bismillahirrohmanirrohim. Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum…”
“Aku bukan hantu,” ujar Fandi sembari menoleh ke arah Runa yang ada di belakangnya.
Runa mengembuskan napas lega. Kemudian ia mengambil sebungkus keripik kentang dan duduk di samping Fandi.
“Sebenarnya, dari kemarin aku ingin nanya sama Kakak. Tapi, selalu nggak ada waktu yang tepat,” ujar Runa.
“Memangnya kamu mau nanya apa?” tanya Fandi sembari mengunyah keripik kentang.
“Kenapa Kakak setuju putus dari Kak Stefani? Aku jadi bingung. Sebenarnya Kakak sayang nggak sih dengan Kak Stefani?”
Fandi tidak langsung menjawab. Ia diam, bahkan berhenti mengunyah. Runa memutuskan untuk menunggu sampai Fandi menjawab pertanyaannya.
“Mungkin karena terlalu sayang,” ujar Fandi setelah lama diam dalam keheningan.
Runa mengernyitkan dahi mendengar jawaban Fandi.
Fandi tersenyum melihat Runa yang tampak bingung.
“Nanti kamu juga akan mengerti kalau kamu udah punya pasangan. Tidur gih. Jangan begadang,” lanjut Fandi sembari mengacak-acak rambut Runa.
“Aku masih mau ngerjain PR,” ujar Runa seraya merapikan poninya.
“Pokoknya jangan sampai begadang.”
“Iyaaa…”
Runa beranjak meninggalkan ruang keluarga sambil membawa camilan dan minuman ke kamarnya.
Fandi menyalakan ponselnya. Fotonya bersama Stefani masih menjadi wallpaper layar ponselnya. Lalu ia melihat galeri foto dan videonya bersama Stefani. Semua kebersamaan itu kini tinggal kenangan. Rasa penyesalan dan sedih bercampur jadi satu di dalam hatinya. Fandi menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. Ia pun mematikan TV dan masuk ke kamarnya. Hanya lagu-lagu melankolis yang menemaninya terjaga sampai pagi.

***

“Meow… Meow… Meow…”
Dengan ekspresi datar di wajahnya, Stefani mengelus-elus kepala seekor kucing gemuk berwarna oranye.
Sementara itu, Reigha membaca tulisan Stefani yang sebelumnya dibaca oleh Nuraga sambil bermain dengan dua ekor kucing berwarna abu-abu. Sesuai saran dari Nuraga, kali ini Stefani meminta Reigha membaca tulisannya tentang kisah cintanya dengan Fandi dan persahabatannya dengan Alia yang Stefani anggap sudah berakhir beberapa waktu yang lalu.
Hari ini, Stefani ingin mendengar pendapat Reigha dari sudut pandang seorang penulis tentang bagaimana jika seandainya Stefani menerbitkan tulisan tersebut. Reigha bersedia dengan syarat kalau ia akan membacanya di kafe kucing karena Reigha sangat menyukai kucing.
“Bacanya yang serius dong,” ujar Stefani melihat Reigha yang sesekali tertawa kecil ketika membaca tulisannya.
“Iya, iya… Telapak tanganku geli dijilat si Dodo nih,” balas Reigha.
“Dodo? Siapa?” tanya Stefani sambil memangku kucing oranye yang semakin manja dengannya.
“Ini si Dodo. Kalau yang ini namanya Panpan,” jawab Reigha.
Stefani memperhatikan kedua kucing berwarna abu-abu yang asyik bermain di dekat Reigha tersebut.
“Kucingnya kembar, ya?” tanya Stefani lagi karena kedua kucing itu terlihat sangat mirip.
“Nggak kok. Ini Dodo, ini Panpan. Mereka sama sekali nggak mirip satu sama lain.”
“Tapi aku nggak bisa bedainnya.”
“Perhatikan deh, corak bulu di kepala mereka beda banget.”
“Iya, ya. Beda. Ya udah, lanjut aja bacanya,” ujar Stefani sembari kembali memasang wajah datar dan mengangguk seolah mengerti supaya Reigha kembali fokus membaca tulisannya.
Sambil menunggu Reigha selesai membaca tulisannya, Stefani malah semakin akrab dengan kucing gemuk berwarna oranye yang sedang ia pangku. Akhirnya, ia dan kucing itu tertidur di sebelah Reigha.
“Stef! Bangun, Stef!”
Stefani berusaha membuka kedua matanya yang tertutup rapat. Semakin lama, pandangannya semakin jelas dan ia dapat melihat wajah Reigha di depannya.
“Udah selesai bacanya?” tanya Stefani yang langsung duduk.
“Udah, tahun lalu!” jawab Reigha dengan wajah kesal.
“Ih, lebay!” balas Stefani ketus.
“Mau dengar pendapat dari aku, nggak?” Reigha masih memasang wajah kesal.
“Iya, mau!” sahut Stefani dengan mata berbinar-binar.
“Ceritanya bagus.”
“Entah kenapa aku merasa nggak suka dengar orang bilang kalau cerita itu bagus. Karena pada kenyataannya, itu pengalaman pahit. Trus, kalau aku mau menerbitkan tulisan itu, gimana caranya agar orang-orang nggak tahu siapa saja orang yang jadi model untuk tokoh-tokoh dalam cerita itu?”
“Pakai nama pena aja.”
“Nama pena?” Stefani mengernyitkan dahinya.
“Iya. Masa’ kamu nggak kepikiran dengan solusi sesederhana itu?”
Stefani diam menyadari kebodohannya.
“Dan jangan beritahu siapapun tentang identitas nama pena kamu itu,” lanjut Reigha.
Stefani manggut-manggut. Sejak awal menulis, Stefani selalu menggunakan nama aslinya agar ia mudah mempromosikan tulisannya kepada orang lain. Namun, mungkin karena terlalu fokus meluahkan semua perasaan dan emosinya ke dalam tulisan setelah putus dari Fandi, Stefani jadi melupakan solusi sederhana seperti yang dikatakan oleh Reigha itu.
“Kamu pernah pakai nama pena?” tanya Stefani sembari kembali memangku kucing gemuk berwarna oranye tadi.
“Reigha adalah nama penaku lho.” Jawaban Reigha membuat Stefani melongo.
Melihat ekspresi bingung di wajah Stefani, Reigha pun melanjutkan kata-katanya, “Aku belum ngasih tahu kamu nama asliku, ya?”
“Belum! Kan selama di Inggris kita berdua berantem melulu!” Stefani menendang kaki Reigha dengan kesal.
“Perkenalkan, namaku Anantara Hariyuda.” Reigha menyebutkan nama aslinya sembari tersenyum ramah.
“Nama asli kamu kedengaran lebih bagus dari nama Reigha. Kenapa kamu bisa dikenal dengan nama Reigha? Pasti karena buku-buku tulisan kamu, ya?”
“Ya, tepat seperti yang kamu kira. Banyak alasan kenapa penulis menggunakan nama pena. Salah satunya adalah menjaga nama baik. Kalau identitas penulisnya dirahasiakan, maka identitas asli tokoh dalam cerita yang ia tulis juga akan menjadi rahasia. Sebagai seorang penulis, minimal kamu harus memahami hal itu.”
Stefani berusaha mencerna dengan baik kata-kata yang diucapkan oleh Reigha.
“Kamu sendiri kenapa pakai nama pena?” tanya Stefani lagi sambil memainkan ekor si kucing oranye.
“Biar nggak diejek kalau tulisanku jelek.”
Stefani tersenyum mendengar jawaban Reigha.
“Oya, aku merasa dejavu setelah baca tulisan kamu,” kata Reigha lagi.

“Dejavu?”

“Iya. Ceritanya mirip dengan buku ‘Pensil Patah’.”
Stefani diam. Ia teringat pada kata-kata Steven beberapa waktu yang lalu tentang buku “Pensil Patah” tersebut: apa yang ingin disampaikan oleh Steven dan untuk siapa buku itu ditulis.
“Btw, kamu udah akrab aja sama di Oyen,” celetuk Reigha sembari menunjuk kucing gemuk berwarna oranye di pangkuan Stefani.
“Eh iya, ya…” Stefani pun tertawa kecil. “Ini namanya Oyen?”
“Iya. Sini sama Papa,” ujar Reigha sembari mengulurkan tangannya hendak mengambil si Oyen.
“Nggak mau. Sama Mama aja,” ujar Stefani yang langsung memeluk si Oyen erat-erat.
Stefani yang awalnya berencana langsung pulang setelah mendengar pendapat dari Reigha tentang tulisannya dan keinginannya untuk menerbitkan tulisannya itu, akhirnya bermain bersama Reigha dan kucing-kucing di kafe kucing tersebut sampai menjelang Maghrib.

***

(Bersambung…)

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai